Menyongsong Era Kecerdasan Buatan: Harapan dan Ketakutan di Balik Perkembangan AI
Dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) menjadi sorotan utama, menimbulkan rasa kagum sekaligus kekhawatiran di kalangan masyarakat luas. Laporan tahun 2024 mengungkapkan bahwa kemajuan AI, khususnya dalam model bahasa, mengalami lonjakan pesat, dengan peningkatan kebutuhan komputasi mencapai 4 hingga 5 kali lipat tiap tahunnya. Salah satu pencapaian mencolok adalah ketika model AI milik OpenAI berhasil meningkatkan IQ-nya dari 96 menjadi 136, bahkan lolos tes Mensa resmi di Norwegia yang terkenal sulit. Fenomena serupa juga terlihat di perusahaan besar seperti Google DeepMind dan Meta AI, meskipun di balik laju pertumbuhan tersebut, ancaman singularity atau Kecerdasan Umum Buatan (AGI) terus menghantui para ahli.
Perkembangan teknologi komputasi kuantum membawa secercah harapan baru. Dengan kemampuan mengevaluasi banyak kondisi secara bersamaan, teknologi ini berpotensi memangkas biaya komputasi yang melonjak setelah hukum Moore tidak lagi berlaku. Hal ini memberikan peluang besar dalam pengembangan jaringan saraf, struktur utama dalam dunia AI saat ini. Walaupun berbagai kemajuan telah dicapai, banyak pakar menilai bahwa AI masih kekurangan fleksibilitas dan otonomi layaknya kecerdasan manusia. Tantangan menuju terciptanya AGI juga mencakup tingginya kebutuhan sumber daya digital, standar evaluasi yang belum jelas, serta kebutuhan akan pengawasan ketat.
Yann LeCun, VP & Chief AI Scientist dari Meta, bahkan berpendapat bahwa istilah AGI sebaiknya diubah menjadi “human-level AI” karena tidak ada sistem yang benar-benar meniru pikiran manusia. Prediksi tentang kapan AGI akan hadir kini lebih cepat dari sebelumnya, dari sebelumnya diperkirakan 2060, kini diprediksi akan terjadi antara tahun 2026 hingga 2035, berkat lonjakan besar dalam teknologi model bahasa dan kekuatan komputasi.