Prediksi Gempat Bumi

Gempa Besar Memiliki Siklus Lama, Temuan Peneliti BRIN

Jakarta – Meski berbagai upaya mitigasi dan penelitian telah dilakukan, waktu pasti terjadinya gempa megathrust tetap menjadi misteri. Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nuraini Rahma Hanifa, mengungkapkan bahwa bencana besar ini bisa saja terjadi di masa depan, mengingat riwayat gempa megathrust di Indonesia yang telah berlangsung sejak zaman dahulu.

Dalam sebuah sesi diskusi mengenai megathrust di Jakarta pada Jumat, 30 Agustus 2024, Nuraini menjelaskan, “Kita tidak bisa memastikan tanggal atau tahun kapan gempa akan terjadi. Jika ada yang mengklaim mengetahui hal tersebut, itu bisa dipastikan sebagai hoaks. Megathrust memang ada dan bisa terjadi kapan saja, entah lima menit ke depan atau 100 tahun dari sekarang.”

Potensi Lokasi Gempa Megathrust

Menurut Nuraini, area yang berpotensi mengalami gempa megathrust meliputi wilayah di sebelah barat Pulau Sumatera hingga selatan Pulau Jawa. Daerah ini merupakan lokasi pertemuan antara lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia, yang dikenal sebagai zona rawan aktivitas seismik.

Pertemuan lempeng ini menciptakan titik lemah dalam struktur geologi, di mana tekanan dan energi dapat terkumpul hingga menyebabkan gempa besar. Oleh karena itu, penting untuk terus memantau dan meneliti daerah-daerah ini guna mempersiapkan kemungkinan terjadinya bencana.

Siklus dan Karakteristik Gempa Besar

Nuraini menjelaskan siklus gempa besar seperti megathrust. “Semakin besar magnitudo gempa, semakin panjang siklusnya. Sebagai contoh, gempa besar yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 memiliki siklus hingga 600 tahun sekali,” katanya. Namun, siklus ini berlaku untuk lokasi gempa tertentu dan berbeda untuk setiap titik.

Teknik pengukuran lempeng bumi memungkinkan ilmuwan untuk menghitung potensi energi yang dapat dilepaskan. Namun, pola pelepasan energi ini tetap sulit diprediksi. Energi gempa bisa dilepaskan dalam bentuk gempa kecil seperti yang terjadi di Pangandaran atau dalam bentuk gempa besar seperti di Aceh.

Untuk Pulau Jawa, yang mengalami pergeseran lempeng bumi rata-rata sebesar 6 cm per tahun, siklus gempa diperkirakan terjadi setiap 400 hingga 600 tahun sekali. Pergeseran lempeng yang memicu gempa besar bisa terjadi baik secara bertahap maupun mendadak.

“Jika kita menghitung, 400 tahun dikalikan 6 cm, maka hasilnya adalah 24 meter. Jika 24 meter ini bergerak sekaligus, kita dapat menghadapi potensi gempa dengan skala Magnitudo 8,8 untuk satu segmen Selat Sunda. Untuk seluruh Pulau Jawa, potensi gempanya bisa mencapai Magnitudo 9, sebanding dengan gempa yang terjadi di Aceh dan Jepang,” jelas Nuraini.

Mitigasi dan Pelajaran dari Jepang

Nuraini juga membandingkan dampak gempa di Jepang dengan gempa di Aceh. Meskipun kedua gempa memiliki kekuatan yang serupa, jumlah korban jiwa di Jepang lebih sedikit. “Di Jepang, korban jiwa jauh lebih sedikit dibandingkan Aceh, sekitar satu persepuluh. Ini menunjukkan pentingnya mitigasi bencana,” tambahnya.

Mitigasi bencana yang efektif dapat mengurangi risiko dan melindungi nyawa. Ini termasuk perencanaan darurat, edukasi masyarakat, dan langkah-langkah preventif lainnya. Kerja sama antara berbagai pihak diperlukan untuk memastikan penanganan bencana yang efisien.

Melestarikan Budaya Siaga Bencana

Nuraini juga menyoroti pentingnya melestarikan budaya siaga bencana yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Istilah lokal seperti “lindu” untuk gempa bumi di Jawa dan “oni” untuk tsunami di Mentawai merupakan contoh budaya lokal yang harus dipertahankan. “Budaya siaga bencana ini sudah ada sejak lama dan harus dilestarikan. Nenek moyang kita telah mengembangkan cara-cara untuk hidup dalam dinamika alam, termasuk bahasa lokal untuk bencana,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan tentang kebiasaan tradisional seperti memperhatikan perilaku hewan yang tidak biasa menjelang bencana. Praktik-praktik ini dapat membantu masyarakat lebih waspada terhadap potensi bencana dan meminimalkan risiko.

“Budaya siaga bencana adalah bagian penting dari kehidupan kita. Kita harus memelihara dan internalisasi budaya ini, karena kita hidup di daerah yang rawan bencana. Dengan pemahaman dan persiapan yang baik, kita dapat mengatasi tantangan bencana dengan lebih baik,” jelas Nuraini.

Kesimpulan

Gempa megathrust adalah bencana yang bisa terjadi kapan saja dan sulit untuk diprediksi secara tepat. Dengan memahami siklus gempa, meningkatkan mitigasi bencana, dan melestarikan budaya siaga bencana, kita dapat mengurangi dampak dari bencana alam. Kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan ilmuwan adalah kunci untuk melindungi nyawa dan meminimalkan kerusakan di masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *