Teknologi AI DeepFake

Dampak Deepfake: Perempuan Korsel Hapus Foto Instagram

Seoul – Korea Selatan tengah menghadapi krisis serius terkait pornografi deepfake, yang mengancam privasi dan keamanan perempuan di negara tersebut. Teknologi deepfake, yang menggabungkan kecerdasan buatan untuk memanipulasi gambar dan video, telah digunakan untuk membuat konten seksual ilegal dengan mengubah wajah korban. Fenomena ini memicu kekhawatiran mendalam dan mendorong banyak wanita untuk menghapus foto selfie dari media sosial seperti Instagram dan Facebook.

Meningkatnya Kekhawatiran di Kalangan Perempuan

Situasi ini memunculkan rasa ketidakamanan yang meluas. Seorang wanita berusia 27 tahun, yang dikenal sebagai Lee, mengungkapkan rasa frustrasinya: “Tempat yang seharusnya aman bagi kami, bagi rutinitas kami, kini terasa tercemar.” Ungkapan tersebut menggambarkan kekhawatiran mendalam yang dirasakan banyak perempuan, yang kini merasa terancam oleh kemungkinan foto mereka digunakan tanpa izin.

Reaksi dari Dunia Fotografi dan Media Sosial

Sebagai respons terhadap krisis ini, beberapa fotografer dan influencer mulai menangguhkan pengunggahan foto yang menampilkan wajah model atau diri mereka sendiri. Seorang fotografer yang meminta namanya tidak disebutkan menyatakan keprihatinannya: “Kami sangat khawatir tentang potensi penyalahgunaan gambar-gambar ini dalam kejahatan deepfake.”

Kejahatan Deepfake dan Dampaknya

Krisis ini semakin parah setelah laporan mengenai seorang lulusan Seoul National University yang diduga terlibat dalam pembuatan dan distribusi foto serta video cabul dengan menggunakan teknologi deepfake. Pelaku, bersama dengan tiga pria lainnya, diduga telah membagikan konten tersebut melalui aplikasi Telegram. Hingga saat ini, sebanyak 61 korban telah teridentifikasi dari kasus ini.

Selain itu, laporan mengungkapkan adanya sebuah channel Telegram dengan lebih dari 200 ribu anggota yang memanfaatkan teknologi deepfake untuk menciptakan dan membagikan foto-foto cabul. Para anggota channel ini bahkan diminta untuk memposting gambar orang yang mereka kenal, menambah kompleksitas dan bahaya dari situasi ini.

Pandangan Pakar dan Respon Kepolisian

Bang Sang-hoon, seorang pakar kepolisian dari Woosuk University, menjelaskan bahwa pelaku kejahatan ini sering kali didorong oleh rasa inferioritas atau niat untuk melecehkan. Menurutnya, teknologi deepfake membuatnya sangat sulit untuk membedakan antara gambar asli dan rekayasa, yang menambah bahaya dari kejahatan ini. “Dulu, penghinaan bisa dilakukan dengan menambahkan gambar kumis pada foto seseorang. Sekarang, dengan adanya Telegram dan teknologi AI, dampaknya menjadi jauh lebih merusak,” ungkapnya.

Kepolisian Korsel melaporkan peningkatan signifikan dalam kasus kriminal deepfake bernuansa seksual, dengan 297 kasus dilaporkan dalam tujuh bulan pertama tahun 2024, naik dari 180 kasus pada tahun sebelumnya dan dua kali lipat dari tahun 2021. Dari 178 pelaku yang teridentifikasi, 113 di antaranya adalah remaja.

Tanggapan dan Harapan untuk Masa Depan

Kim Su-jeong, direktur Pusat Konseling Hak Asasi Manusia Perempuan, menegaskan perlunya pendekatan yang lebih efektif dalam menangani kejahatan ini. “Pemerintah harus fokus pada edukasi pelaku tentang kesalahan dan ketidakbolehan tindakan mereka, alih-alih hanya meminta korban untuk menghapus foto mereka,” ujarnya. Dia menyoroti bahwa kegagalan negara dalam mendengarkan seruan untuk meningkatkan kewaspadaan dan hukuman yang lemah bagi pelaku telah memperburuk situasi.

Dengan meningkatnya kekhawatiran dan dampak negatif dari deepfake, sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah Korsel untuk bekerja sama dalam mengatasi krisis ini, melindungi hak privasi, dan memastikan bahwa kejahatan semacam ini tidak lagi merajalela.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *