Paradigma Filsafat Sains: Menyikapi Derasnya Kemajuan Teknologi AI
Jakarta – Tren kecerdasan buatan (AI) semakin berkembang pesat, namun penting untuk memahami penerapan teknologi ini melalui perspektif filsafat sains agar manfaatnya bisa dirasakan secara nyata, bukan sekadar mengikuti tren global. Menurut Dimitri Mahayana, dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB), Indonesia harus memiliki pendekatan yang lebih kritis dan matang dalam mengadopsi AI agar tidak hanya menjadi bagian dari dominasi teknologi Amerika Serikat dan China.
Dalam kuliah umum yang diselenggarakan STEI ITB, Dimitri menjelaskan lima paradigma filsafat sains yang bisa diterapkan dalam pengembangan AI, dimulai dari eksperimen pengukuran (positivisme logis) hingga realisme kritis yang menganggap AI sebagai konstruksi sosial. Dari sana, AI berkembang menjadi bagian dari narasi sosial yang lebih luas, dan dengan pendekatan pragmatis, teknologi ini diharapkan membawa manfaat besar bagi masyarakat Indonesia.
“AI harus mampu memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Selain itu, Indonesia harus mampu menjadi pusat AI yang mandiri, bukan sekadar mengikuti tren global,” ujar Dimitri. Paradigma yang ia sebut “MINMAX” ini terdiri dari enam elemen penting yang harus diikuti agar AI di Indonesia tidak hanya menjadi hype semata:
- M untuk Manfaat: AI harus memberikan manfaat maksimal bagi kehidupan masyarakat Indonesia.
- I untuk Indonesia: Indonesia harus menjadi pusat pengembangan AI yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
- N untuk Narasi: Membangun narasi positif mengenai AI yang mengutamakan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.
- M untuk Mengukur: Mengembangkan ukuran evaluasi yang relevan untuk Indonesia dengan melibatkan pemerintah, bisnis, dan akademisi.
- A untuk Aman: Menangani isu-isu seperti keamanan data, bias, dan transparansi dalam penggunaan AI.
- X untuk X Factor: Mengakui bahwa perkembangan AI sangat dinamis dan sulit diprediksi.
Dengan paradigma ini, Indonesia diharapkan bisa mengoptimalkan potensi AI dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat.
Pandangan Kritikal tentang Perkembangan AI
Agus Nggermanto, seorang YouTuber literasi numerasi, mengibaratkan AI dengan kisah Phaeton, anak Dewa Helios, yang mengendarai kereta matahari dan gagal mengendalikan laju matahari, menyebabkan bencana bagi bumi. “AI bisa seperti itu, jika tidak terkendali, bisa membawa dampak negatif yang sangat besar bagi kehidupan manusia,” ujarnya.
Sementara itu, futurolog Ray Kurzweil, dalam bukunya The Singularity is Near (2005), memprediksi bahwa AI akan berkembang pesat dan pada suatu titik akan melampaui kecerdasan manusia. Namun, banyak pihak yang skeptis terhadap prediksi ini, mengingat teknologi AI saat ini belum mampu mengatasi tantangan besar seperti krisis lingkungan dan sosial.
Peluang dan Tantangan AI di Indonesia
AI tidak hanya menjadi topik hangat, tetapi juga sudah mulai diterapkan di berbagai sektor industri di Indonesia. Arga M Nugraha, Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI, menyebutkan bahwa AI berfungsi untuk mendukung karyawan, bukan menggantikan mereka. “AI dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, namun tetap memerlukan sentuhan manusia untuk menghadirkan solusi yang lebih efektif,” ujarnya.
Berbagai BUMN di Indonesia juga mulai mengadopsi AI, seperti PLN yang menggunakan GenAI untuk pemeliharaan jaringan, dan BRI yang menggunakan AI dalam bentuk chatbot Sabrina untuk meningkatkan layanan nasabah.
Namun, Budi Sulistyo, seorang ahli telematika, menekankan pentingnya keseimbangan dalam mengadopsi AI. AI, terutama dalam bentuk Large Language Models (LLM), memiliki kelemahan, seperti hanya mampu melakukan korelasi tanpa analisis kausalitas yang menjadi domain pemikiran manusia.
Kesimpulan
Dengan pendekatan yang tepat, AI dapat membawa manfaat besar bagi Indonesia, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun teknologi. Penting bagi Indonesia untuk mengembangkan AI dengan narasi dan regulasi yang jelas, serta memastikan bahwa teknologi ini benar-benar memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat luas.